Honesty is an expensive gift, don't hope it from cheap people

Bagian 3
Sore telah beranjak malam saat aku sampai di gubug kecil tempat ibu, aku dan Ratna, adikku tinggal. Ratna sedang melipat pakaian dan Ibu tengah menjahit baju seragam batikku yang robek sakunya. 

“Assalammualaikum.”
“Wa’alaikumsalaam…Alhamdulillah kau sudah pulang le. Ratna sudah menunggumu dari tadi.” Ibu dan Ratna tersenyum lega.
“Wah, kayaknya Ratna mau kasih coklat lagi nih sama kakak,” meski aku tahu Ratna menungguku untuk membantu mengerjakan PR nya, meledeknya benar-benar menyenangkan. Tapi anehnya Ratna benar-benar punya coklat, padahal uang sakunya seminggu pun tidak akan cukup untuk beli coklat sebesar itu.

“Iya kak, ntar kalau PR nya dah kelar Ratna kasih coklat deh.” Ibu dan aku berpandangan, ternyata kami sama-sama terkejut. Ehm, pas tanggal 14 Februari kemarin Ratna dikasih coklat sama Agus, Ulin, Satrio, mas Dani dan mas Akmal. Aku dan ibu semakin terbeliak.
“Busyeeet!! Siapa mereka? Pacarmu?” tanpa sadar aku sudah memberondongnya dengan pertanyaan yang aku yakin pasti ada di pikiran ibu juga.
“Ih, pacar?? Amit-amit ya….Ratna nggak suka sama mereka.” Ibu Nampak menghela napas. “Lalu yang kamu suka siapa?” Tanya ibu kalem.
Ratna tersipu “Eh…enggak kok bu, Ratna belum mikirin cowok. Beneran…suer!!”
“Kalau bukan pacar kok mereka mau ngasih coklat buat Ratna? Jangan-jangan Ratna PHP in?” Kali ini aku benar-benar curiga.
“Enggak kok kak, Ratna enggak PHP juga enggak pacaran!!” Ratna nampak kesal.
“PHP tuh apaan? Merek HP baru?” ibu kebingungan.
“Enggak bu…PHP tuh kepanjangannya Pemberi Harapan Palsu. Apa iya anak perempuan ibu modelnya cewek PHP. Ibu harusnya tersinggung tuh sama kakak.” Ratna benar-benar sewot.
“Kalau enggak ya udah gak usah Baper kayak gitu. Ntar malah kakak curiga jadinya.”
“Ih!! Kakak ngeselin banget sih!!” Ratna merapikan bukunya dan bergegas masuk ke kamarnya. Yang kami sebut kamar ini sebenarnya cuma ruangan sempit yang kami sekat dengan kain perca kreasi ibu. Jadi semarah apapun Ratna, dia gak bakal bisa membanting pintu atau mengunci diri di kamarnya.

Ibu melotot memandangku, aku hanya bisa menunduk menyembunyikan senyum dan bergegas keluar untuk mandi di pemandian umum masjid tak jauh dari rumah. Kami memang tak punya kamar mandi. Rumah atau gubuk kami yang hanya terdiri dari dua ruangan, kamar Ratna dan ruang serbaguna memang sangat jauh dari layak di sebut rumah. Meskipun begitu, kami bersyukur dan sangat berterimakasih kepada pak Rahmat yang telah mengijinkan bapak untuk membuat gubug di pekarangan rumahnya dan memberikan pekerjaan untuk ibuku. Pak Rahmat juga mengijinkan kami memakai kamar mandinya, ibu dan Ratna selalu mandi dan mencuci di sana sedangkan aku sering mandi di kamar mandi masjid yang hanya berjarak 100 meter dari rumah kami.
Sambil mandi dan mencuci pakaian yang tadi kupakai, pikiranku belum beranjak dari coklat dan Ratna. Kenapa cowok-cowok itu memberi coklat kepada Ratna? Segala kemungkinan aku pikirkan, namun terasa tidak cocok. Selama ini aku dan ibu selalu mengawasi Ratna dengan cara-cara detektif professional, dan aku yakin tidak ada yang terlewat. Akhirnya kuputuskan untuk bertanya saja langsung dengan lemah lembut dan penuh perhatian seorang kakak seperti yang biasa aku lakukan untuk meluluhkan hatinya.

Usai mandi dan sholat maghrib di masjid aku bergegas pulang dan bertekad untuk mengorek informasi dari Ratna. Namun ternyata kali ini aku harus mengakui kecerdikan ibu karena beliau telah berhasil membuat putri cantik kami mengaku dosa. Amarahku hampir tak tertahan saat mencuri dengar pembicaraan Ratna dan ibu.
“Agus, Ulin, dan Satrio paling malas mengerjakan PR bu. Apalagi Bu Ema dan Pak Bondan sering marah-marah gara-gara tulisan mereka yang keriting gak bisa di baca. Jadi Ratna suka bantuin tulis PR mereka, dan membantu mereka saat ulangan. Kalau mas Dani dan mas Akmal, mereka tuh naksir sama Dewi teman sekelas Ratna yang cantik dan kaya itu. Nah tugas Ratna cuma lapor sama mereka tentang apa saja yang Dewi suka dan butuhkan, trus apa saja yang dewi lakukan.”
Duh, rasanya dada ini hendak meledak karena amarah yang memuncak. Aku yang mati-matian menjaga amanah almarhum ayah dan menanggung resiko terkucil dan dibenci, kini mendengar Ratna yang begitu ringan tanpa beban menceritakan tentang sikap yang sama sekali tidak membanggakan dan lebih pantas disebut menjijikkan. Aku teringat coklat yang terlanjur kumakan kemarin dan 2 hari yang lalu, tiba-tiba aku merasa mual dan ingin muntah.

Malam itu aku benar-benar muntah-muntah hingga terkuras seisi perutku. Badanku sangat lemah, sehingga aku tak sanggup mengatakan apapun kepada Ratna, apalagi marah-marah. Malam itu aku tidur kedinginan dan sangat merindukan ayah. Air mataku membanjir tanpa bisa kutahan, ibu mengusap-usap keningku dan mencoba menghiburku. Ibu sangat mengerti perasaanku. Ratna yan g sedikitpun tak menyangka dirinya lah penyebab sakitku malah meledek tanpa perasaan. “Haduh, cowok ganteng dah kumisan kok masih nangis gara-gara sakit!! Malu atuh kakak!!” Ibu mengedipkan matanya, menyuruhku diam dan bersabar.
Pagi harinya, Ratna kebingungan mencari coklat-coklatnya yang raib entah kemana. Diliriknya aku yang masih khusuk membaca Al-Quran dan ibu yang tengah sibuk membuat nasi goreng. Ratna masih mencari-cari coklatnya di bawah meja dan tumpukan bajunya saat aku menghampirinya.
“Cari apaan sih dik, sampe segitunya?” Ratna langsung mendongak memandang kakaknya. Ia yakin sekarang, aku yang telah mengambil coklat-coklatnya.
“Coklatnya jangan diambil semua donk kak, Ratna juga mau kelees.” Ratna tersenyum manja.
“Maaf, sudah kakak kasih ke anak-anak tadi yang sholat di masjid.” Ratna sangat terkejut.
“Semuanya? Kenapa? Kakak kan tahu Ratna suka coklat?”
“Kakak nggak mau Ratna makan makanan yang tidak halal.”
“Kenapa tidak halal?? Ratna hanya membantu mereka dan tidak pernah minta bayaran. Mereka yang kasih ini dengan sukarela kok. Ratna gak pernah nyuruh mereka kak.”
“Ratna sudah menipu guru-guru dan orang tua mereka dengan mengerjakan PR anak-anak mala situ. Dan Ratna sudah membuat para pemalas itu kian malas dan tidak mau berusaha. Itu dosa dik…Ayah pasti sedih kalau tahu Ratna begini.” Sekuat tenaga aku menahan air mataku, namun akhirnya aku tak kuasa lagi.


9 Feb 2016

Comments

Popular posts from this blog

Indonesian Vegetables

A Magic Leaf Called 'Sambung Nyawa'

Khasiat Daun Pulutan